Zikir
alif, alif, alif!
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
terang
hingga aku
berkesiur
pada
angin kecil
takdir-
mu
hompimpah hidupku, hompimpah matiku,
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah, hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif, alif, alif!
alifmu yang satu
tegak dimana-mana
1983
tidak hanya ini puisi karya D. Zawawi Imron, ya.. untuk selanjutnya ada juga puisi ciptaannya yang berjudul IBU di page 2.
IBU
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat buanga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tmpatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
1966
Sumber: D. Zawawi Imron, Madura Akulah Darahmu, Grasindo, Jakarta, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar